Custom Search

Memahami Larangan Berfoto di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi


Selfie dalam zona ibadah membutuhkan kekuatan dalam menata hati
Tahun lalu, tepatnya 12 Nopember 2017, Kementerian Luar Negeri Arab Saudi melayangkan nota diplomatik ke seluruh negara pengirim jemaah haji dan umrah terkait dengan semakin masifnya aksi penggunaan kamera untuk pengambilan gambar di dua Masjid kebanggaan ummat Islam itu: Masjidil Haram dan Masjid Nabawi. Nota diplomatik tersebut berisi permintaan khusus Pemerintah Arab Saudi kepada negara-negara pengirim jemaah haji maupun umrah agar lebih tegas lagi memberikan penyuluhan kepada seluruh jemaah tentang larangan pengambilan gambar di area Masjidil Haram dan Masjid Nabawi. Para petugas haji yang menyertai jemaah, dari Ketua Kloter hingga Ketua Rombongan (Karom) bahkan Ketua Regu (Karu) perlu menggarisbawahi penegasan penting itu.

Baca juga:

Larangan pengambilan gambar itu, sebagaimana yang lebih dipertegas lagi oleh Kementerian Haji dan Umrah Arab Saudi, berlaku untuk pengambilan gambar dengan perangkat apapun, termasuk dengan kamera handphone sekalipun. Larangan ini bukan karena Pemerintah Arab Saudi menganggap haram kegiatan berfoto. Sama sekali bukan karena itu. Dan memang faktanya Pemerintah Arab Saudi tidak mengharamkan kegiatan berfoto secara umum. Pemerintah dua Kota Suci itu hanya melarang kegiatan berfoto di lingkungan Masjidil Haram dan Masjid Nabawi, atas dasar pertimbangan yang sangat luhur agar jemaah yang sedang khusyuk beribadah tidak terganggu oleh aktivitas pengambilan gambar atau aksi berfoto selfie dari jemaah-jemaah lainnya. Di samping itu, larangan tersebut lebih berdimensi ruhiyah, yakni menghormati kesucian dua Masjid bersejarah tersebut, menjaga suasana kondusifitas ibadah di dalamnya, dan bahkan menjadi bagian dari ikhtiar protektif terhadap niat para jemaah agar tidak mudah tergerus oleh motif-motif pamer atau riya (syirik kecil) yang bisa menyusup ke dalam hati secara halus, selembut langkah semut-semut hitam di atas batu hitam di malam yang gelap gulita, yang kalau itu terjadi akan merontokkan semua nilai ibadah yang diharapkan, termasuk kemabruran haji yang ingin digapai itu.

Oleh-Oleh terbesar haji dan/atau umrah sama sekali bukan dari banyaknya koleksi foto-foto yang diperoleh di Tanah Suci, meskipun itu juga tidak tercela, sepanjang mengindahkan larangan berfoto di area-area yang telah ditentukan. Oleh-Oleh terbesar haji adalah kemabruran haji itu sendiri yang terkristalisasi dalam diri seseorang dan terpancar kuat dalam bentuk kesalehan personal dan sekaligus kesalehan sosial yang jauh lebih baik dibanding sebelum melaksanakan Rukun Islam Kelima itu. Ini semua bisa diikhtiarkan secara sungguh-sungguh dengan selalu menjaga konsistensi niat semata-mata karena Allah, bukan karena sesuatu selain Allah, sebagaimana penegasan kuat dalam ayat berikut:

 وَأَتِمُّوا الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلَّهِ 


Dan sempurnakanlah haji dan umrah karena Allah (QS. Al-Baqarah: 186)

Ummat tidak butuh persaksian haji seseorang dari foto-foto berlatar belakang Masjidil Haram atau Masjid Nabawi. Ummat hanya butuh aktualisasi kemabruran haji seseorang, dan itu sekaligus menjadi kebutuhan personal seorang hamba ketika berjuang memenuhi panggilan-Nya. Labbaika Allahumma Labbaik. Labbaika Laasyarika Laka Labbaik.

Kemurnian niat berhaji hanya bisa diwujudkan jika menanggalkan semua hal yang bisa mengotorinya. Segala pernik-pernik duniawi harus dilepas, dan ini tergambarkan secara alegoris dari ritual berihram. Di samping itu, berbagai godaan yang berpotensi mengotori kemurnian niat harus dilawan, yang secara simbolis terwakili dalam ritual melontar jumrah. Bagaimanapun, kesadaran akan makna-makna ini (atau pengenalan kita terhadap makna-makna itu) menjadi bagian penting dari esensi Wukuf di Arafah yang notabene merupaka puncak haji. Al-Hajju Arofah, haji adalah wukuf di Arafah. Terminologi Arafah sendiri senapas dengan substansi ta’aruf (pengenalan atau berkenalan) yang kemudian pada akhirnya dapat mengantarkan kita pada Al-A’raf (tempat yang tinggi) secara maknawiah, atau makrifat.

Baca juga:

Last but not least, sebagai seorang hamba yang masih memiliki banyak kekurangan, jika suatu saat saya mendapat panggilan (lagi) ke Baitullah, sepertinya tetap ada keinginan-keinginan untuk berfoto di sana. Hanya saja saya harus berupaya memastikan tiga hal. Pertama, saya melakukannya tidak di area larangan untuk itu. Kedua, tidak ada jemaah yang terusik oleh aksi foto-foto saya. Ketiga, tampaknya ini yang paling berat, adalah menjaga agar niat saya tidak dalam rangka riya atau pamer, bukan saja karena pamer adalah ciri orang yang tidak punya pamor, tetapi yang paling fatal adalah, pamer atau riya sebagai sebuah syirik kecil dapat memusnahkan nilai ibadah yang menjadi tujuan utama Allah menghadirkan kita di atas permukaan bumi ini.

 وَمَاخَلَقْتُالْجِنَّوَالإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ 


Dan tidaklah Aku menciptakan Jin dan Manusia kecuali hanya untuk beribadah kepada-Ku (QS. Adz-Dzariyat : 56) 

Tonton Juga:
Video singkat berikut ini berdurasi sekitar 1 menit 20 detik. Pada detik ke-37 tampak seorang jemaah berfoto di dalam Masjid Nabawi (bahkan di dalam Raudhah) meski ini dilarang oleh Pemerintah Arab Saudi.



Akhirnya, saya memaknai haji sebagai sebuah panggilan suci yang tak boleh terkotori oleh anasir-anasir apapun, dan saya kira itulah hakekat dari penggalan kalimat Talbiyah “Labbaika Laasyarika Laka Labbaik”. Wallahua’lam (La Ode Ahmad)

0 Response to "Memahami Larangan Berfoto di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi"

Posting Komentar